Menjawab Iqamah

blogger templates


Assalamu'alaikum..

kita sudah sangat familiar jika disunnahkan menjawab ketika mendengar suara Adzan dikumandangkan. Bagaimana kalau Iqamah ?
apakah juga kita disunnahkan untuk menjawabnya ?
dan apa hukumnya ?

Nah sekarang kita akan membahas ini lebih detail lagi.


Tuntunan Bagi yang Mendengar Iqamah

Disenangi bagi orang yang mendengar iqamah untuk menjawab iqamah tersebut seperti yang diucapkan muadzin/muqim. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Yustahabbu An Yaqula fil Iqamah Mitsla Ma Yaqulu) 

Dalilnya adalah keumuman sabda Nabi n:

 إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ 

 “Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.”
(HR. Al-Bukhari no. 611 dan Muslim no. 846)

Juga karena iqamah itu merupakan adzan secara bahasa, demikian pula secara syar’i, dengan dalil sabda Rasulullah :

 بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ 

 “Di antara dua adzan ada shalat (sunnah).”
(HR. Al-Bukhari no. 627) Kata Al-Hafizh menjelaskan, “Yaitu adzan dan iqamah.” (Fathul Bari, 2/141)

Orang-orang yang bermadzhab Syafi’iyyah sepakat tentang mustahab (sunnah)nya mengikuti ucapan muqim (orang yang menyerukan iqamah). (Al-Majmu’ 3/130).

Pendapat ini juga yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta’ dalam fatwa mereka no. 2396, 2801, 5609.Jadi Hukum untuk Menjawab Iqamah adalah "Sunnah".


Jawaban Iqamah

Jawaban iqamah sama persis sebagaimana jawaban terhadap adzan karena iqamah merupakan adzan yang diserukan muadzin/muqim, termasuk mengucapkan:

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.
QAD QAAMATISHAALAH
Adapun hadits Abu Umamah Shudai ibnu ‘Ajlan yang menyebutkan saat Bilal dalam iqamahnya mengatakan:

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ,
QAD QAAMATISHAALAH Rasulullah  menjawab:

أَقاَمَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا 
AQAAMAHALLAAHU WA ADAAMAHAA
“Semoga Allah menegakkan dan mengekalkannya.”

Hadits yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 528) ini dhaif. Kata Al-Imam An Nawawi t, “Hadits ini dhaif karena dalam sanadnya disebutkan ada seorang lelaki dari penduduk Syam (tidak disebutkan siapa dia), berarti rawi ini majhul. Rawi lain bernama Muhammad ibnu Tsabit Al-Abdi, dia dhaif menurut kesepakatan. Demikian pula rawi yang bernama Syahr diperselisihkan tentang ‘adalahnya.” (Al-Majmu’ 3/130)

Hadits ini didhaifkan pula dalam Al-Irwa’ (no. 241).
Di samping kelemahan di atas, hadits ini juga menyelisihi hadits shahih yang berisi perintah untuk mengucapkan ucapan yang sama dengan apa yang diucapkan muadzin, sebagaimana haditsnya telah disinggung di atas.

Faedah

Al-Imam Al-Albani t menyatakan, hanya Ibnul Qayyim t yang secara terang-terangan menyatakan tentang mustahab (sunnah)nya bershalawat kepada Nabi n dan memintakan wasilah untuk beliau setelah mendengar iqamah, dalam kitabnya Jala’ul Afham. (Ats-Tsamar 1/215)

Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta’ dalam fatwa mereka no. 10426 menyatakan disyariatkannya seseorang menjawab sebagaimana yang diucapkan muqim (orang yang mengumandangkan iqamah) dan bershalawat terhadap Nabi, demikian pula meminta wasilah bagi beliau kepada Allah l sebelum ditegakkannya takbir karena keumuman sabda Nabi :

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ

“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Al-Bukhari no. 611 dan Muslim no. 846)

Tenggang Waktu antara Adzan dan Iqamah

Tenggang waktu antara diserukannya adzan dengan iqamah, diperkirakan sekadar seseorang mengerjakan shalat minimal dua rakaat, dengan dalil sabda Rasulullah :

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ

“Di antara dua adzan ada shalat (sunnah).”
Anas bin Malik berkata, “Apabila muadzin selesai menyerukan adzan maghrib, bangkitlah para sahabat Nabi. Mereka bersegera menuju ke tiang masjid sampai Nabi keluar (dari rumahnya masuk ke masjid). Demikianlah mereka, mengerjakan shalat dua rakaat sebelum maghrib. Tidak ada jarak antara adzan dan iqamah kecuali sedikit.” (HR. Al-Bukhari no. 625)

Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada batasan waktu (antara adzan dan iqamah) kecuali sekadar telah masuknya waktu shalat dan berkumpulnya orang-orang yang hendak shalat.” (Fathul Bari, 2/140)

Hadits lain yang menunjukkan adanya jarak waktu antara adzan dan iqamah adalah hadits Aisyah, “Adala Rasulullah bila muadzin selesai menyerukan adzan subuh, beliau bangkit untuk mengerjakan shalat dua rakaat yang ringan sebelum mengerjakan shalat fajar setelah benar-benar jelas terbitnya fajar. Kemudian beliau berbaring di atas rusuk kanannya sampai muadzinh mendatangi beliau untuk menyerukan iqamah.” (HR. Al-Bukhari no. 626)

Iqamah Diserukan Setelah Imam Datang
Sebaiknya iqamah tidak diserukan terkecuali bila imam telah datang, dengan dalil hadits Jabir ibnu Samurah :

كَانَ مُؤَذِّنُ رَسُوْلِ اللهِ n يُؤَذِّنُ ثُمَّ يُمْهِلُ، فَلاَ يُقِيْمُ حَتَّى إِذَا رَأَى رَسُوْلَ اللهِ n قَدْ خَرَجَ أَقَامَ الصَّلاَةَ حِيْنَ يَرَاهُ

“Adalah muadzin Rasulullah menyerukan adzan lalu ia menangguhkan (iqamah), ia tidak menyerukan iqamah sampai ia melihat Rasulullah telah keluar, ia pun menyerukan iqamah tatkala melihat beliau.” (HR. At-Tirmidzi no. 202 [ini lafadz beliau] dan Abu Dawud no. 537. Kata Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud: “Hadits ini shahih.”)

Demikian pula jamaah yang hadir, mereka tidak bangkit dari tempat duduknya terkecuali bila melihat imam telah hadir walaupun iqamah telah diserukan sebelum itu. Karena Rasulullah bersabda dalam hadits yang dibawakan oleh Abu Qatadah Al-Anshari :

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَقُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْنِي (قَدْ خَرَجْتُ)

“Apabila telah diserukan iqamah untuk shalat maka janganlah kalian berdiri sampai kalian melihatku (telah keluar dari rumah menuju masjid).” (HR. Al-Bukhari no. 637 dan Muslim no. 1364. Adapun lafadz dalam kurung merupakan tambahan dari satu riwayat Muslim no. 1365)

Al-Imam At-Tirmidzi setelah membawakan hadits di atas menyatakan, “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi dan selain mereka membenci bila orang-orang menanti imam dalam keadaan mereka berdiri. Sebagian ahlul ilmi mengatakan, ‘Bila imam telah berada di masjid lalu diserukan iqamah untuk shalat maka jamaah yang hadir baru bangkit dari duduk mereka, setelah muadzin mengatakan, 

قدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ،قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ. 
Ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/52)

Al-Imam Abu Dawud berkata dalam Masail-nya (29): Aku pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad, “Kapan orang-orang berdiri untuk mengerjakan shalat?” Beliau menjawab, “Apabila muadzin telah mengatakan: 

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.
” Abu Dawud bertanya lagi, “Bila imam belum datang?” Beliau menjawab, “Mereka tidak berdiri sampai mereka melihat imam.”

Al-Hafizh berkata, “Mayoritas ulama berpendapat, bila imam sudah ada bersama mereka di masjid, maka mereka tidak bangkit dari tempatnya sampai iqamah selesai diserukan. Diriwayatkan Ibnul Mundzir dan selainnya dari Anas bahwa ia baru bangkit bila muadzin telah mengatakan: 

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ. 
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Manshur, dari jalur Abu Ishaq, dari murid-murid Abdullah.”
Beliau juga berkata, “Adapun bila imam belum hadir di masjid maka jumhur berpendapat orang-orang tidak bangkit sampai mereka melihat imam datang.”
Zahir hadits ini juga menunjukkan bolehnya diserukan iqamah sementara imam masih di rumahnya bila sang imam bisa mendengar iqamah tersebut dan memang telah ada izin darinya. (Fathul Bari, 2/157)

Apakah Harus Muadzin yang Menyerukan Iqamah?

Semestinya orang yang menyerukan adzan (muadzin), dia pula yang menyerukan iqamah. Demikian pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Man Adzdzna fa Huwa Yuqimu)

Dalilnya dari As-Sunnah adalah apa yang dahulu dilakukan oleh muadzin Rasulullah, Bilal, ia yang adzan dan ia pula yang iqamah. Hikmahnya adalah agar tidak menjadi rancu bagi orang-orang yang mendengar, juga agar muadzin tahu bahwa ia bertanggung jawab terhadap dua pemberitahuan yang ada, yaitu adzan dan iqamah. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/66)

Namun tidak menjadi masalah bila selain muadzin yang menyerukan iqamah, karena tidak ada nash yang melarang hal ini. Adapun hadits yang bunyinya:

مَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيْمُ

“Siapa yang adzan maka dia yang iqamah.” (HR. Ahmad 4/169, Abu Dawud no. 514 dan selainnya)
Didhaifkan sanadnya oleh Al-Baghawi, An-Nawawi, dan didhaifkan pula dalam Al-Irwa’ (no. 237) dan Adh-Dha’ifah (no. 35).
Al-Imam Abu Hanifah dan Malik rahimahumallah berpendapat tidak ada bedanya antara si muadzin itu sendiri yang menyerukan iqamah ataupun orang lain. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Man Adzdzna fa Huwa Yuqimu)

Tidak Ada Shalat Sunnah Setelah Diserukan Iqamah
Abu Hurairah z meriwayatkan sabda Nabi n:

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ

“Apabila telah diserukan iqamah untuk shalat maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib.” (HR. Muslim no. 1642)

Shalat wajib yang dimaksud adalah shalat yang iqamah diserukan untuknya sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat Ahmad (2/352):

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الَّتِي أُقِيْمَتْ

“Apabila telah diserukan iqamah untuk shalat maka tidak ada shalat kecuali shalat yang iqamah diserukan untuknya.” (Al-Imam Al-Albani mengatakan sanadnya shahih, perawinya adalah perawi Muslim selain Ibnu Lahi’ah, ia tsiqah namun dikhawatirkan buruk hapalannya. Namun hadits ini memiliki mutaba’ah sehingga hilang kekhawatiran tersebut. Lihat Ats-Tsamar, 1/224)

Berdasarkan hadits di atas, bila iqamah telah diserukan, tidak boleh seseorang memulai mengerjakan shalat sunnah baik berupa sunnah fajar, dhuhur, ashar, atau selainnya. Yang seharusnya dilakukan adalah bergabung dengan jamaah untuk mengerjakan shalat fardhu yang diserukan iqamah untuknya. Ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, bahkan jumhur ulama. (Al-Minhaj, 5/228)

Al-Imam At-Tirmidzi, “Pendapat seperti inilah yang diamalkan di sisi ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi dan selain mereka, yaitu bila telah diserukan iqamah shalat, tidak boleh seseorang mengerjakan shalat terkecuali shalat yang wajib. Sufyan Ats Tsauri mengucapkan yang seperti ini. Demikian pula Ibnul Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/264, 265)

Hikmahnya, 
kata Al-Imam An Nawawi adalah agar seseorang memusatkan diri mengerjakan shalat fardhu dari awal, ia bisa takbiratul ihram sesegera setelah takbirnya imam. Adapun kalau ia menyibukkan diri dengan shalat sunnah, niscaya ia akan luput melakukan takbiratul ihram bersama imam. Akan luput pula darinya sebagian penyempurna shalat fardhu. Sementara shalat fardhu memang seharusnya lebih dijaga kesempurnaan penunaiannya daripada selainnya.” (Al-Minhaj, 5/229)

Mendatangi Iqamah Shalat dengan Tenang Tanpa Tergesa-Gesa
Bila seseorang belum masuk ke dalam masjid sementara iqamah telah diserukan maka janganlah ia bergegas, terburu-buru, atau bahkan berlari-lari untuk bergabung dengan jamaah. Hendaknya ia berjalan dengan sakinah atau tenang dan tidak terburu-buru, sebagaimana sabda Rasulullah:

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوْهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ، وَائْتُوْهَا تَمْشُوْنَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةَ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

“Apabila telah diserukan iqamah shalat maka janganlah kalian mendatanginya dalam keadaan kalian bergegas-gegas. Datangilah dalam keadaan kalian berjalan biasa, dan sepatutnya kalian tenang tidak terburu-buru. Apa yang kalian dapati dari shalat tersebut, maka shalatlah dan apa yang kalian terluputkan maka sempurnakanlah.” (HR. Al-Bukhari no. 636 dan Muslim no. 1358, lafadz di atas adalah lafadz Muslim)
Dalam lafadz Muslim yang lain (no. 1359) ada tambahan:

…فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إذا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلاَةِ فَهُوَ فيِ الصَّلاَةِ

“Karena salah seorang dari kalian jika ia bersengaja menuju shalat maka ia teranggap dalam keadaan shalat.”
Hadits di atas menunjukkan sangat ditekankannya mendatangi shalat dengan sakinah dan waqar, serta larangan mendatanginya dengan terburu-buru. (Al-Minhaj, 5/101)




1 Untuk dijadikan sutrah, karena mereka hendak mengerjakan shalat sunnah sendiri-sendiri. (Fathul Bari, 2/141)

0 Response to "Menjawab Iqamah"

Posting Komentar